?
Latar Belakang
“Mengapa sebagian
golongan dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam
pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila
mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya,.. (QS.
At Taubah; [9]; 122).
“Barangsiapa dikehendaki
baik oleh Allah maka dia dikaruniai kepahaman agama,” HR.
Al Bukhari).
Fiqih merupakan cabang
ilmu keislaman yang mengkaji hukum syariat yang berkaitan dengan hubungan
manusia dengan Allah (hablun minallah) dan hubungan antar manusia (hablun
minannas). Pada periode muta’akhirin
ini terjadi pelembagaan fiqih dalam beberapa madzhab. Ketika itu ada empat
madzhab besar yang berkembang dan mampu bertahan hingga saat ini, yaitu; Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.
Pembahasan
a.
Pengertian
Definisi Bughat,
adalah bentuk jamak dari tunggal baaghin. Sedangkan makna baghii (pemberontakan) adalah dzalim dan melampaui
batas. Mereka mendapat predikat demikian itu karena kedzaliman dan penolakan
mereka terhadap pemerintahan yang sah. Pemberontakan merupakan kejahatan
politik yang sangat meresahkan. Sebab, kejahatan semacam ini dapat
menghancurkan persatuan umat muslimin, menyalakan api fitnah dan segala
negatifnya mulai dari pertumpahan darah, menghancurkan bangunan negara,
menebarkan teror serta penyelewengan hak[1].
Bughat adalah
sekelompok kaum muslimin yang menentang kekuasaan imam (pimpinan) walaupun
bertindak lalim, dan mereka tidak tunduk terhadap perintahnya dan menolak
menunaikan hak yang berhubungan dengan harta benda, baik hak Allah, hak
individu sebagai manusia atau hak lainnya seperti qishas, atau hadd
dan lain sebagainya.
b.
Ketentuan
Hukum Bughat
Bughat
memiliki ketentuan banyak hukum, di antaranya adalah sebagai berikut;
Pertama, bila
sekelompok warga memperhatikan mind set seperti kaum Khawarij[2],
seperti memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin, mengkafirkan para sahabat,
dan lain sebagainya. Jika golongan ini membunuh seseorang setara dengannya,
maka mereka wajib di-qishas seperti lainnya, selama mereka bukan
berstatus sebagai begal. Jika mereka mengemukakan alasan bahwa hal itu karena
faktor imam atau selain imam dari kalangan orang yang adil, maka mereka
dijatuhi hukuman takzir.
Kedua, jika
mereka memberontak kepada imam, membuang tahtanya dengan melakukan penafsiran
ulang terhadap nash syar’i, menolak menunaikan kebijakan yang diwajibkan
kepada mereka berdasarkan takwil, dan berlindung disebuah tempat yang
kukuh, atau bersuaka pada kekuatan politik yang dapat menandingi posisi imam,
maka imam boleh memerangi mereka sesuai ketentuan ayat yang telah dikemukakan, “Apabila
ada dua golongan orang-orang mukmin berperang...,” (QS. Al Hujurat [49];
9).
Abu Bakar pernah memerangi kaum yang
menolak membayar zakat. Ali pernah memerangi penduduk Bashrah saat perang
Jamal, memerangi pasukan Muawiyah di Shiffin, dan memerangi kaum Khawarij di
Nahrawan.
Ketiga, kesaksian
bughat dapat diterima karena mereka berstatus muslim serta bukan orang yang
fasik berdasarkan argumen mereka. Keputusan hukuman mereka dapat diterima dalam
kasus yang dapat diputuskan oleh hakim kaum muslimin karena mereka mempunyai
dasar pertimbangan yang keputusan hukum mereka melakukan ijtihad[3].
Kecuali keterangan saksi dan keputusan hukum mereka bernada menghalalkan nyawa
dan harta benda kaum muslimin. Oleh sebab itu, kesaksian saksi dan keputusan
hukum semacam ini tidak dapat diterima. Dan lain sebagainya.
Imam Madzhab sepakat bahwa mengangkat pemimpin hukumnya
adalah wajib. Oleh karena itu, sudah seharusnya kaum muslim mempunyai pemimpin yang
dapat menegakkan syiar-syiar agama Islam dan dapat menyelamatkan orang yang
teraniaya dari orang-orang yang zalim. Tidak dibenarkan bagi kaum muslimin di
dunia ini dalam suatu waktupun mempunyai dua pemimpin. Pemimpin itu dari suku
Quraisy. Pemimpin itu tidak boleh seorang perempuan, orang kafir, dan anak yang
belum dewasa, begitu pula orang gila.
Pemimpin yang sempurna
wajib ditaati perintahnya selama ia tidak melakukan kemaksiatan. Membunuh orang
yang tidak taat pada seorang pemimpin yang baik adalah hukumnya wajib.
Hukum-hukum orang yang mendapat limpahan kekuasaan darinya harus dilaksanakan.
Apabila sekelompok
orang yang berkekuatan keluar dari jamaah kaum muslim, atau tidak taat pada
pemimpinnya, dan mereka mempunyai alasan yang tidak jelas, maka mereka boleh diperangi sehingga
mereka kembali ke jalan Allah.
Imam Madzhab berbeda
pandapat, apakah boleh dikejar orang yang melarikan diri dari medan
pertempuran, atau dibunuh orang-orang yang didapati dalam keadaan luka parah?
Menurut pendapat Hanafi, apabila
ada lagi sekelompok lain yang melarikan diri dapat menggabungkan diri dengan
mereka maka mereka boleh dibunuh.
Maliki, Syafi’i
dan Hambali mangatakan, tidak boleh dibunuh.
Imam Madzhab
sepakat bahwa harta pemberontak tetap menjadi milik mereka. Para Imam Madzhab
sepakat bahwa jizyah (pajak) dzimmi yang telah dipungut oleh
pemberontak harus dianggap telah dibayarkan kepada pemerintah yang sah.
Sedangkan kerugian yang ditimbulkan oleh pemberontak, maka pemerintah yang sah
tidak dikenai pertanggung jawaban apapun.
Imam Madzhab beda
pendapat tentang harta dan jiwa yang menjadi korban oleh pemerintah, baik harta
pemerintah yang sah maupun milik rakyat. Menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya serta salah
satu dari riwayat Hambali, tidak dimintai pertanggung jawaban kepada
mereka.
Sedangkan menurut Syafi’i
dalam qaul qadim-nya, dan riwayat lain dari Hambali, dimintai
pertanggungan mereka.
QATH’U
THARIQ (PERAMPOKAN) Atau HIRABAH
(KEBANDITAN)
a.
Definisi
Hirabah
(kebanditan) adalah delik kejahatan terhadap harta benda atau nyawa, atau
meneror dan menebar ancaman dengan cara yang sulit meski telah meminta bantuan
pemerintahan dan lain sebagainya.
Qath’u thariq
(perampokan) adalah tindak merampas harta, membunuh, atau menakut- nakuti
dengan paksaan dan mengandalkan kekuatan. Kedua hal (kebanditan dan perampokan)
mempunyai makna yang hampir sama.
b.
Ketentuan
Hukum Hirabah & Qath’u thariq
Imam Madzhab beda
pendapat tentang hadd bagi
perampok yang melakukan perampasan di tengah perjalanan. Menurut pendapat Hanafi, Syafi’i, dan Hambali,
harus sesuai dengan tertib urutan yang tersebut dalam Al Quran, sedangkan
menurut pendapat Maliki, tidak menurut tertib urutan Al Quran, tetapi
diserahkan pada ijtihad hakim, yakni boleh dibunuh, disalib, dipotong tangan
dan kakinya dengan cara bersilang, diasingkan, atau dipenjarakan.
Imam Madzhab yang berpendapat harus menurut tertib urutan
dalam Al Quran berbeda tentang tata caranya. Menurut pendapat Hanafi,
jika mereka mengambil harta dan membunuh maka hakim boleh memilih antara
memotong tangan dan kaki mereka secara silang, membunuh, atau menyalibnya.
Sedangkan sifat penyaliban, menurut riwayat yang masyhur dari Hanafi,
adalah disalib dengan keadaan hidup dan perutnya ditikam dengan tombak hingga
mati. Ia tidak boleh disalib lebih dari tiga hari. Jika mereka membunuh, tetapi
tidak mengambil harta, maka hakim membunuhnya sebagai hadd, dan hakim
tidak boleh menawarkan pengampunan kepada walinya. Jika mereka mengambil harta
orang Islam atau dzimmi, dan harta rampasannya dibagikan kepada kelompok
mereka serta masing-masing mendapat 10 dirham, atau senilai itu, maka hakim
memotong tangan dan kaki mereka secara silang. Jika sebelumnya mereka pernah
merampas harta, tetapi tidak pernah membunuh, maka hendaknya hakim memenjarakannya
hingga bertaubat atau mati.
Menurut pendapat Maliki,
apabila mereka tertangkap maka hakim dapat menghukum mereka menurut pangdangan
dan ijtihadnya. Jika di antara mereka ada yang mempunyai pemikiran yang baik
dan mempunyai kekuatan maka ia dibunuh. Jika ada orang yang memiliki kekuatan
saja maka ia dibuang. Hakim boleh membunuh, menyalib, dan memotong tangan dan
kaki mereka. Jika mereka tidak pernah membunuh dan merampas harta maka hakim
boleh bertindak mereka menurut pertimbangannya demi kemaslahatan untuk manusia.
Tentang sifat
pengasingan, menurut pendapat Maliki, mereka dikeluarkan dari negara
atau daerah mereka tinggal selama ini ke negeri lain atau daerah lain, dan
dipenjara di tempat tersebut. Sedangkan mengenai sifat penyaliban, pendapat Maliki,
sama dengan apa yang dikemukakan oleh Hanafi.
Syafi’i dan Hambali mengatakan, apabila mereka
tertangkap sebelum sempat membunuh orang atau merampas harta maka mereka
diasingkan. Namun, kedua imam madzhab ini berbeda pendapat tentang sifat
pengasingan. Syafi’i berkata, mereka dipenjara di tempat pengasingan.
Jika mereka melarikan diri dari penjara maka hendaknya dicari, lalu dikenai hadd
jika mereka melakukan sesuatu yang mewajibkan hadd.
Dari Hambali
diperoleh dua riwayat, pertama, seperti pendapatnya Syafi’i di
atas. Kedua, mereka diusir dan dibiarkan, tidak boleh diberi tempat
tinggal di negrinya atau daerahnya.
Syafi’i dan
Hambali sependapat, apabila mereka pernah merampas harta dan belum
pernah membunuh maka mereka dipotong satu tangan dan satu kakinya, lalu
dilepaskan. Sedangkan jika mereka sudah pernah merampas dan membunuh maka wajib
dibunuh serta disalib. Jika mereka pernah membunuh, tetapi belum pernah
merampas harta, maka wajib dibunuh. Adapun, penyaliban dilakukan sesudah ia
dibunuh. Sebagian ulama Syafi’i mengatakan, penyaliban dilakukan dalam
keadaan hidup lalu dibunuh.
Lama penyaliban adalah
tiga hari. Demikian menurut pendapat Hanafi, Maliki, dan Syafi’i.
Sedangkan Hambali berkata, cukup disalib saja, asalkan memenuhi
pengertian penyaliban. Imam Madzhab berbeda pendapat tentang apakah
disyaratkan nisab dalam membunuh para perampok? Hanafi, Syafi’i dan
Hambali mengatakan, diperlukan hal itu. Maliki, tidak diperlukan.
Apabila perampok
berkumpul, lalu sebagian mereka sudah melaksanakan pembunuhan dan perampasan,
tetapi sebagian yang lain hanya menolong dan membantu, apakah hukum perampokan
diberlakukan kepada mereka semua? Hanafi, Maliki, dan Hambali
mengatakan, hukum pembantu perampokan disamakan dengan yang diberlakukan
terhadap pembunuh dan perampas. Syafi’i berkata, pembantu dikenai
hukuman ta’zir, yaitu dipenjara, diasingkan, dan sebagainya. Imam
Madzhab sepakat bahwa orang yang memperlihatkan senjatanya untuk
menakut-nakuti para pejalan di luar kota, yaitu disuatu tempat yang tidak mudah
diperoleh pertolongan, dihukumi sebagai perampok dan padanya berlaku hukuman
para perampok. Namun, mereka berbeda pendapat tentang orang yang melakukan
perbuatan demikian di dalam kota. Maliki, Syafi’i dan Hambali
mengatakan sama saja, dihukumi perampok. Hanafi berkata, tidak dapat
disamakan dengan perampok, kecuali dilakukan di luar kota. Jika di antara
mereka terlibat seorang perempuan, yang ikut membunuh dan merampas harta, maka
ia dikenai hukuman dibunuh sebagai hadd atasnya. Demikian menurut Maliki,
Syafi’i, dan Hambali. Sedangkan Hanafi berkata, dibunuh
sebagai qishas dan dikenai pertanggungan.
Imam Madzhab
sepakat bahwa orang yang pernah membunuh dan merampas harta wajib dikenai
hukuman hadd. Walaupun wali korban memaafkan, hal itu tidak dapat membebaskan
orang tersebut dari hukuman. Sedangkan orang yang mati sebelum ditangkap tidak
dikenai hadd. Hal itu karena hadd adalah hak Allah, dan yang
dapat dituntut manusia adalah hak manusia saja, seperti jiwa, harta, dan pelukaan, kecuali mereka memaafkannya.
Apabila seseorang
meminum minuman keras, lalu zina, dan mencuri, maka wajib baginya hukuman bunuh
karena merampok dan sebagainya, yaitu tidak dipotong tangannya dan tidak
dicambuk, tetapi dibunuh. Sebab, hal demikian adalah hak manusia. Demikian
menurut Hanafi dan Hambali.
Syafi’i berkata, hendaknya segala hukumannya disempurnakan. Apabila
seseorang meminum miniman keras, menuduh perempuan baik melakukan zina, maka ia
tidak dikenai dua hadd. Demikian pendapat Hanafi, Syafi’i dan
Hambali. Maliki, dikenai dua hadd.
Orang yang bukan
perampok, yakni peminum khamr, pezina, dan pencuri, apabila bertaubat, apakah hadd-hadd-nya
gugur? Hanafi dan Maliki mengatakan, taubat mereka tidak
menggugurkan hadd mereka. Dari Syafi’i
diperoleh dua pendapat, pertama, seperti halnya pendapat Hanafi dan Maliki di atas. Kedua,
hadd mereka menjadi gugur apabila mereka berada dalam keadaan taubat selama
satu tahun.
Para perampok yang
taubat, tapi belum nampak amal perbuatan baiknya, apakah kesaksian mereka dapat
diterima? Maliki dan Syafi’i,
tidak diterima kesaksian mereka hingga nampak kebaikannya. Hanafi dan Hambali,
diterima kesaksiannya, meski tiada nampak amal kebaikannya. Apabila terdapat
orang kafir atau budak, atau anak kecil di antara perampok, maka tidaklah
dibunuh. Ini pendapat Hanafi dan Hambali dalam riwayat yang
jelas. Maliki, dibunuh juga. Dari Syafi’i diperoleh dua pendapat
seperti pendapat di atas. Tetapi pendapat yang paling shahih, di bunuh juga.
Pembegal yang melukai
atau memotong anggota badan dapat dituntut hukum qishas. Namun, hukuman
itu tidaklah wajib apabila korban memaafkan perbuatannya, dan hadd
menjadi gugur.
Siapapun yang turut
membantu perbuatan pembegal harus di-takzir dengan dipenjarakan dan
dibuang dari tanah kelahirannya. Dalam hadits disebutkan; “Siapa saja yang
turut memperbanyak golongan sekelompok kaum maka dia termasuk golongan mereka.”[4]
Penutup
Imam Madzhab berbeda pandapat,
apakah boleh dikejar orang yang melarikan diri dari medan pertempuran, atau
dibunuh orang-orang yang didapati dalam keadaan luka parah? Menurut pendapat Hanafi, apabila ada lagi
sekelompok lain yang melarikan diri dapat menggabungkan diri dengan mereka maka
mereka boleh dibunuh.
Maliki, Syafi’i
dan Hambali mangatakan, tidak boleh dibunuh. Imam Madzhab sepakat
bahwa harta pemberontak tetap menjadi milik mereka. Para Imam Madzhab
sepakat bahwa jizyah (pajak) dzimmi yang telah dipungut oleh
pemberontak harus dianggap telah dibayarkan kepada pemerintah yang sah.
Sedangkan kerugian yang ditimbulkan oleh pemberontak, maka pemerintah yang sah
tidak dikenai pertanggung jawaban apapun. Imam Madzhab beda pendapat
tentang harta dan jiwa yang menjadi korban oleh pemerintah, baik harta
pemerintah yang sah maupun milik rakyat. Menurut Hanafi, Maliki, dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya serta
salah satu dari riwayat Hambali, tidak dimintai pertanggung jawaban
kepada mereka.
Imam Madzhab
sepakat bahwa orang yang pernah membunuh dan merampas harta wajib dikenai
hukuman hadd. Walaupun wali korban memaafkan, hal itu tidak dapat
membebaskan orang tersebut dari hukuman. Sedangkan orang yang mati sebelum
ditangkap tidak dikenai hadd. Hal itu karena hadd adalah hak
Allah, dan yang dapat dituntut manusia adalah hak manusia saja, seperti jiwa,
harta, dan pelukaan, kecuali mereka
memaafkannya.
Apabila seseorang
meminum minuman keras, lalu zina, dan mencuri, maka wajib baginya hukuman bunuh
karena merampok dan sebagainya, yaitu tidak dipotong tangannya dan tidak
dicambuk, tetapi dibunuh. Sebab, hal demikian adalah hak manusia. Demikian
menurut Hanafi dan Hambali.
Syafi’i berkata, hendaknya segala hukumannya disempurnakan. Apabila
seseorang meminum miniman keras, menuduh perempuan baik melakukan zina, maka ia
tidak dikenai dua hadd. Demikian pendapat Hanafi, Syafi’i dan
Hambali. Maliki, dikenai dua hadd.
DAFTAR
PUSTAKA
Al Zuhaili,
Wahbah Musthafa, Terjemah Fiqih Al Muyassar, Al Mahira. Jakarta; 2008.
Abdurrahman Ad
Dimsyki, Muhammad, Fiqih Empat Madzhab,Hasyimi Press, Bandung; 2010.
***
[1] Prof.
DR. Wahbah Musthafa Al Zuhaili, Terjemah Fiqih Al Muyassar, Al Mahira.
Jakarta; 2008. Hal. 245. Jilid. 3.
[2] Khawarij adalah
sekelompok yang mengkafirkan pelaku dosa besar.
[3] Seperti takwil
pengikut Khawarij (tidak ada hukum, kecuali hukum Allah dan Rasul-Nya). Ia
menyindir bahwa Ali melakukan kekeliruan dengan menerima perdamaian (tahkim).
Lalu Ali menjawab, “Ungkapan yang benar, namun tujuannya salah. Kalian berhak
melakukan tiga hal yang menjadi tanggung jawab kepada kami. Kami tidak akan
menghalangi kalian memasuki masjid untuk berdzikir menyebut nama Allah di
dalamnya. Kami tidak mengurangi kalian untuk harta fai’ selama kalian
masih bergabung bersama kami. Dan kami tidak akan memulai memerangi kalian.”
Dengan demikian, Ali berusaha memosisikan dirinya sebagai hukum orang-orang
yang adil.
[4] HR. Abu Ya’la Al
Maushili dari Hadits Abdullah Bin Mas’ud (Nashbu ar-Raayat, jilid IV,
hal. 346).
0 komentar:
Posting Komentar