Tujuan Pendidikan

       I.            Pendahuluan
Sebelum kita tinjau lebih lanjut apa yang  dengan pendidikan, terlebih dahulu perlu kiranya diterangkan dua istilah yang hampir sama bentuknya, yaitu paedagogie dan paedagogiek . paedagogie artinya pendidikan, sedangkan paedagogiek berarti ilmu pendidikan.
Pedagogik atau ilmu pendidikan ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki, merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan mendidik. Pedagogik berasal dari kata Yunani Kuno paedagogia yang berarti ‘pergaulan dengan anak-anak’. Peadagogos ialah seorang pelayan atau bujang pada zaman Yunani Kuno yang pekerjaanya mengantar dan menjemput anak-anak ke dan dari sekolah. Juga di rumahnya, anak-anak tersebut selalu dalam pengawasan dan penjagaan dari para paedagogos itu. Jadi, nyatalah bahwa pendidikan anak-anak Yunani Kuno sebagian besar diserahkan kepada paedagogos itu.
Paedagogos berasal dari kata paedos (anak) dan agoge (saya membimbing, memimpin). Perkataan paedagogos yang mulanya berarti “rendah” (pelayan, atau ahli didik) ialah seseorang yang tugasnya membimbing anak dalam pertumbuhan agar dapat berdiri sendiri.
     II.            Pembahasan
Apakah sebenarnya tujuan pendidikan itu? Akan dibawa kemanakah sebenarnya anak didik itu? Soal ini adalah soal yang paling sulit dibicarakan dalam hal mendidik. Soal “tujuan pendidikan” merupakan soal yang prinsipil dalam pedagogik.[1]
Undana-Undang Pendidikan dan Pengajaran no. 12 tahun 1954 dan Undang-Undang no. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, untuk sekandar menambah pengetahuan kita tentang pendidikan, marilah kita tinjau dahulu beberapa hal.
Segala apa yang kita katakan tentang pendidikan ditentukan oleh zaman dan kebudayaan di tempat kita hidup.[2]
Dahulu, ketika VOC berkuasa di Indonesi ini, ada pula sedikit mendirikan sekolah-sekolah yang diperuntukkan bagi bumiputra di beberapa kota perniagaan. Tetapi, jelas disini tujuannya itu bukanlah untuk mempertinggi kebudayaan rakyat, melainkan hanyalah sekedar memenuhi kebutuhan mereka mencari tenaga murah untuk kepentingan monopoli perdagangan mereka. Di lain pihak ada maksud mengembangkan agama Nasrani (missi dan Zending) kepada rakyat jajahannya.
Demikian pula, sekolah-sekolah yang didirikan selanjutnya oleh pemerintah Hindi Belanda sesudah VOC itu. Bukanlah untuk mencerdaskan dan meninggikan mutu kehidupan dan kebudayaan rakyat pada umumnya, melainkan maksud yang sesungguhnya ialah mendidik orang bumiputra (kebanyakan hanyalah anak-anak orang muslim) untuk dididik sebagai pegawai negeri rendahan yang taat, patuh, setia, dan mengabdi kepada atasannya. Jadi, pendidikan itu hanya kepentingan kolonialismenya.
  III.            Macam-Macam tujuan di dalam Pendidikan
Kita ketahui bahwa pendidikan mempunyai banyak fungsi dan tujuan, salah satunya seperti yang ditulis oleh departemen agama RI dalam buku “pedoman umum pendidikan agama islam” bahwa, pasal 3 undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang fungsi pendidikan nasional adalah mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermatabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada tuhan yang maha esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[3]
Di dalam bukunya beknopte theoretische paedagogiek, langaveld mengutarakan macam-macam tujuan sebagai berikut :
a.      Tujuan umum,
b.      Tujuan-tujuan tak sempurna ( tak lengkap ),
c.       Tujuan-tujuan sementara,
d.      Tujuan-tujuan perantara, dan
e.      Tujuan insidental.
A.      Tujuan umum
Tujuan umum disebut juga sempurna, tujuan terakhir, atau tujuan bulat. Tujuan umum ialah tujuan di dalam pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan orang tua atau pendidik lain, yang telah ditetapkan oleh pendidik dan selalu dihubungkan dengan kenyata-kenyataan yang terdapat pada anak didik itu sendiri dan dihubungkan dengan syarat-syarat  dan alat-alat untuk mencapai tujuan umum itu.
Tujuan umum tidak akan ada tidak dapat selalu diingat oleh si pendidik dalam melaksanakan pendidikannya. Oleh karena itulah, tujuan umum itu selalu dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang khusus (diperkhususkan) mengingat keadaaan-keadaan dan faktor-faktor yang terdapat pada anak didik sendiri dan lingkungan seperti :
1)      Sifat pembawaan anak didik umumnya dan jenis kelaminnya, watak dan kecerdasannya.
2)      Kemungkinan- kemungkinan dan kesanggupan-kesanggupan keluarga anak didik itu, miskin atau kaya, terpelajar atau tidak dan lain-lain masih primitif atau sudah majukah masyarakat sekitar anak itu? Apakah adat-isitadat masyarakat disitu menghambat atau melancarkan jalannya pendidikan anak –anak itu? Dan sebagainya.
3)      Tempat dalam masyarakat yang menjadi tujuan anak didik itu. Jabatan-jabatan, pekerjaan-pekerjaan, dan fungsi-fungsi masyarakat apakah yang diperlukan?  Pertanian, perindustrian, perekonomian, pemerintahan, perdagangan, dan sebagainya adalah lapangan-lapangan kemasyarakataan yang memelurkan syarat-syarat tertentu dari tiap-tiap orang. Dengan kata lain, tidak kepada semua anggota masyarakat meminta syarat-syarat yang sama.
4)      Tugas badan-badan dan tempat pendidikan. Keluarga atau rumah tangga, sekolah, badan-badan keagamaan, badan-badan sosial, dan sebagainya sudah tentu mempunyai tugas yanag berbeda-beda dalam mendidik anak-anak. Masing-masing akan memperhatikan kepribadian anak didik dari sudutnya sendiri-sendiri.
5)      Tugas negara dan masyarakat disini dan sekarang. Tugas suatu bangsa atau umat manusia didalam suatu negara yang dijajah atau yang sudah merdeka berlainan. Demikian pula, keadaan bangsa dan umat manusia dahulu berbeda dengan sekarang. Maka dari itu, tujuan sempurna dengan sendirinya mengalami penentuan yang berlainan pula.
6)      Kemampuan-kemampuan yang ada pada pendidik  sendiri. Seperti pernah diuraikan, hidup sipendidik turut menentukan arah tujuan pendidikan. Demikian pula, kecakapan-kacakapan, kesanggupan, pengetahuan, dan kehidupan si pendidik itu. Tujuan umum ini dengan demikian harus ditentukan yang sungguh-sungguh kongkret dengan memperhitungkan dan memperhatikan segala kenyataan.
B.      Tujuan-tujuan tak sempurna
Yang dimaksud dengan tujuan tak sempurna atau tak lengkap ini ialah tujuan-tujuan mengenai segi-segi kepribadian manusia yang tertentu yang hendak dicapai dengan pendidikan itu, yaitu segi-segi yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup yang tertentu, seperti keindahan, kesusilaan, keagamaan, kemasyarakatan, dan seksual. Oleh karena itu, kita dapat juga mengatakan, pendidikan keindahan, pendidikan kesusilaan, pendidikan kemasyakatan, pendidikan intelektual, dan lain-lain yang masing-masing dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang terkandung didalam masing-masing seginya.
Tujuan tak sempurna ini bergantung kepada tujuan umum dan tidak dapat terlepas dari tujuan umum itu. Memisahkan tujuan tak lengkap menjadi tujuan sendiri sehingga merupakan tujuan terakhir atau tujuan umum dari pendidikan, menjadi berat sebelah, dan berarti tidak mengakui kepribadian manusia sebulat-bulatnya. Ingatlah: pendidikan hendaklah harmonis!
C.      Tujuan-Tujuan sementara
Tujuan sementar ini merupakan tempat-tempat perhatian sementara pada jalan yang menuju ke tujuan umum, seperti anak-anak dilatih untuk belajar kebersihan, belajar berbicara, balajar berbelanja, dan belajar bermain-main bersama teman-temannya.
Umpamanya, kita melatih anak belajar berbicara sampai anak itu sekarang dapat berbicara. Dalam hal ini tujuan kita telah tercapai (tujuan sementara), yaitu anak dapat berbicara, Tetapi, tidak hanya sampai disitu tujuan kita. Anak kita ajar berbicara agar anak itu dapat berbicara dengan baik dan sopan santun terhadap sesama manusia, agar ia berbuat susila (tujuan tak lengkap), dan seterusnya. Demikian pula melatih anak untuk belajar kebersihan, belajar berbelanja, dan sebagainya adalah tujuan sementara.
Tujuan sementara ini merupakan tingkatan-tingkatan untuk menuju kepada tujuan umum. Untuk mencapai tujuan-tujuan sementara itu di dalam praktik harus mengingat dan memperhatikan jalannya perkembangan pada anak. Untuk ini maka perlulah psikologi perkembangan.



D.     Tujuan-Tujuan perantara
Tujuan ini  bergantung tujuan-tujuan sementara. Umpamanya, tujuan sementara ialah si anak harus belajar membaca dan menulis. Setelah ditentukan untuk apa anak  belajar membaca dan menulis itu, dapatlah sekarang sebagai macam kemungkinan untuk mencapainya itu dipandang sebagai tujuan perantara, seperti metode mengajar dan metode membaca.
Contoh lain, tujuan tak sempurna ialah pembentukan kesusilaan sebagai tujuan sementaranya dapat ditentukan pada suatu umur yang tertentu si anak belajar membeda-bedakan “kepunyaanku” dan “kepunyaanmu”. Dengan memperhatikan tujuan sementara itu si anak dapat permainannya sendiri (tujuan perantara).
E.      Tujuan Insidental
Tujuan ini hanya sebagai kejadian-kejadian yang merupakan saat-saat yang terlepas pada jalan yang menuju kepada tujuan umum. Contoh, seorang ayah memanggil anaknya supaya masuk ke dalam rumah, agar mereka tidak menjadi terlalu lelah, atau untuk makan bersama-sama ; ayah itu menuntut supaya perintahnya itu ditaati. Tetapi, dalam situasi yang lain mungkin si ayah itu akan mengurangi tuntutan ketaatan itu dan hanya bersikap netral saja.
Namun semua tujuan yang telah disebutkan diatas tidak akan dapat tercapai tanpa adnya kecerdasan, kecerdikan, dan ketelitian dari badan-badan atau seseorang yang terkait di dalamnya, menurut saya sebagai pendidik harus memiliki kemampuan yang sesuai dengan bidang yang ditanganinya, agar tujuan yang di inginkan bisa tercapai sesuai yang di harapkan.[4]
 IV.            Tujuan Dan Fungsi Evaluasi Hasil Belajar Peserta Didik
Tujuan evaluasi dikemukakan oleh Bukhori (1980) sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui kemauan anak didik setelah si terdidik menyadari selama jangka tertentu.
2.      Untuk mengetahui efisiensi metode pendidikan yang dipergunakan selama jangka tertentu.
Sedangkan fungsi evaluasi dikemukakan oleh sahertian (1979) sebagai berikut:[5]
1.      Untuk memberikan motifasi terhadap hal belajar.
2.      Untuk melengkapi informasi mengenai kemajuan belajar dan kemunduran murid, dapat pula berfungsi sebagai bahan pertimbangan untuk menentukan kenaikan siswa.
3.      Untuk menentukan murid dalam suatu kemajuan tertentu.
4.      Untuk memperoleh data bagi pekerjaan bimbingan dan penyuluhan.
    V.            Beberapa Pendapat Tentang Tujuan Pendidikan
Dalam pasal-pasal yang lalu telah dikatakan bahwa tujuan pendidikan itu ditentukan oleh zaman dan kebudayaan di tempat kita hidup. Juga telah dijelaskan bahwa tujuan pendidikan itu ditentukan oleh “pandangan hidup” manusia.
Karena “pendapat hidup” manusia itu berlain-lainan, berbeda-beda pula apa yang hendak dicapai dengan pendidikan itu. Jadi, titik berat yang hendak dituju, berbeda-beda pula, seperti:
a)      Ada ahli didik yang menitikberatkan kepada ketuhanan atau agama (lihat tujuan tak lengkap). Semua pendidikan dimaksudkan untuk membawa si anak agar ia selalu berbakti kepada Tuhannya, selalu hidup menuruti dan sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh agamanya. Anak di didik bukan untuk hidup di dunia ini dan sekarang, melainkan dengan pendidikan itu mereka hendak mempersiapkan anak untuk hidup diakhirat nanti.
b)      Ditinjau dari sudut anak atau manusia itu sendiri, di samping kedua pendirian di atas, ada pula pendidikan yang mementingkan anak itu sendiri sebagai pribadi, dan ada pula yang lebih mementingkan manusia itu sebagai anggota masyarakat. sehingga dalam hal ini timbullah apa yang disebut pendidikan individual (individueele opvoeding) dan pendidikan kemasyarakatan (sosiale opvoeding).
John dewey, seorang ahli filsafat),[6] dan ahli didik bangsa Amerika, berpendapat bahwa pendidikan kemasyarakatan yang lebih penting dari pada pendidikan individual.
Untuk dapat mencapai tujuan pendidikan yang di harapkan pastinya harus ada bimbingan, apakah yang dimaksud dengan bimbingan itu?, baik dahulu maupun sekarang,sesungguhnya telah banyak guru yang melakukan tugasnya terhadap murid-muridnya, yang sebenarnya termasuk kedalam apa yang dimaksud dengan bimbingan. Hanya soalnya ialah bahwa perbuatan atau tindakan-tindakan guru yang demikian hanyalah dilakukan secara insidental belaka, tidak dengan direncanakan secara kontinyu dan diorganisasi sebaik-baiknya oleh sekolah, seperti:
Ø  Seorang guru memperhatikan salah seorang muridnya yang selalu tidak dapat memusatkan perhatiannya kepada berbagai mata pelajaran, kemudian berusaha memperbaikinya setelah mengetahui serba sedikit latar belakang penghidupan dan kehidupan keluarga.
Ø  Seorang guru memberikan nasihat-nasihat dan pandangan-pandangan kepada salah seorang murid yang datang kepadanya untuk meminta berhenti sekolah karena suatu sebab.
Dalam rangka bimbingan ini hendaklahsi individu diberi kebebasan untuk memilih. Pembimbing membantu untuk menetapkan suatu pilihan, tetapi tak berarti bahwa pembimbing itu sendiri yang memilih. Anak (orang) itu sendirilah yang mementukan sikapnya.
“...guidance is assistance to an individualof any age to help him manage his own activities, develop his own point of vew, make his own decisions, and carry his own burdens”
(“...bimbingan ialah bantuan yang diberikan kepada seorang individu dari setiap umur, untuk menolong dia dalam mengatur kegiatan-kegiatan hidupnya, mengembangkan pendirian/pandangan hidupnya, membuat keputusan-keputusan, dan memikul beban hidupnya sendiri.”[7]









[1] Ilmu pendidikan, Drs.M.Ngalim Purwanto, MP hal. 18
[2] Ilmu pendidikan, Drs.M.Ngalim Purwanto, MP hal. 18
[3] Pedoman umum pend.agama islam M.A keagamaan, departemen agama RI, hal:1
[4] Pemakalah Nur Rohim
[5] Manajemen peserta didik berbasis sekolah. Prof. Dr. Ali Imron, M. Pd., M. Si hal. 119
[6] Filsafat dewey adalah “pragmatisme”, yaitu suatu aliran dalam filsafat yang mementungkan guna atau faidah segala sesuatu dianggap baik atau buruk ditinjau dari segi faidah kegunaannya dan bagi masyarakat
[7] Administrasi dan supervisi pendidikan, Drs. M. Ngalim Purwanto, MP. Hal. 170
Share on Google Plus

About Rumadie El-Borneo

0 komentar:

Posting Komentar