Ta'zir

PENDAHULUAN
1.      Latar belakang
Setelah selesai membahas seputar hudud (hukuman hadd), yaitu hukuman yang tlah ditentukan bentuk dan ukuranya oleh syara’ maka selanjutnya kami kan membahas  seputar tema sanksi hukum bergagai tindak kejahatan yang sysra’ tidak menentukan hukuman haddnya, yaitu yang lebih dikenal dengan istilah ta’zir.
Disini secara ringkas kami akan membicarakan tentang definisi ta’zir, syarat syarat wajibnya, ukuran dan sufatnya, mekanisme pembuktian tindak kejahatanya, dan denda atas kematian orang akibat dihukum ta’zir.

PEMBAHASAN
1.      Definisi ta’zir[1]
            Ta’zir secara bahasa, artinya adalah Al-man’u (mencegah, melarang, menghalangi). Diantara bentuk penggunaanya adalah ta’zir yang berarti An-nusrhrah (membantu, menolong), karena pihak yang menolong mencegah dan menghalani pihak musuh dari menyakiti orang yang ditolongnya. Kemudian kata ta’zir lebih populer digunakan untuk menunjukan arti memberi pelajaran dan sanksi selain hukuman hadd.
            Sedangkan kata ta’zir secara syara’, ta’zir adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman hadd dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah swt. Seperti makan pada siang hari bulan ramadhan tanpa ada uzur,[2] meninggalkan shalat menurutt jumhur ulama, riba, membuang najis, kotoran dan lain sebagainya dijalanan, maupun kejahatan hak adami sperti bercumbu dengan perempuan yang bukan istrinya namun tidak sampai jima’, mencuri dengan jumlah curian yang belum mencapai batas nisab pencurian, pencurian tanpa mengandung unsure Al-hirzu (harta yang dicuri tidak berada pada tempat penyimpanan yang semestiantinya), menghianati amanat (korupsi), suap, pencemaran dan tuduhan selain zina berupa berbagai bentuk hujatan, pemukulan, dan berbagai bentuk tindakan menyakiti orang lain.
2.      Pensariatan ta’zir
            Dalil pensariatan ta’zir adalah hadits Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Baihaki dari Bahz bin Hakim yang mengishkan penuturan ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi saw menetapkan hukuman penjara pada kasus tuduhan. Hadits ini dinyatakan sahih oleh hakim. Pelaksanaan hukuman penjara ini bersifat sementara sampai fakta sebenarnya terungkap.
            Bukhari, Muslim, Abu Dawud meriwayatkan dari Hani’ bin Niar ra bahwa dirrinya mendengar Rasulullah bersabda;
لا تجلد و ا فوق عشرة أسو اط , الا في حد من حد ود  الله
            “jangan mendera lebih dari sepuluh cambukan, kecuali dalam kasus hudud yang ditetepkan Allah.[3]
            Ulama hanafiah melandaskan pensariatan pemenjaraan pada ayat, “Aw Yunfau Minal Ardh” (atau dibuang dari negri tempat kediamanya).” (Al-Maidah : 33). Mereka mengatakan bahwayang dimaksud dengan An-Nafyu (pembuangan) dalam ayat ini adalah memenjarakanya.[4]

3.      Hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman bunuh (mati) sebagai suatu bentuk kebijakan
            Ulama malikiyah dan hanafiah memperbolehkan hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman bunuh seperti terhadap pelaku kejahatan yang berulangkali melakukan kejahatan atau terbiasa melakukan kejahatan (residifis), atau liwath (seks sesama jenis atau sodomi), atau pembunuhan dengn benda tumpul menurut ulama hanafiah. Hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman bunuh itu dikenal dengan istilah Al-Qotlu Siasatan, yakni hukuman ta’zir dalam bentuk hukuman mati apabila hakim melihat adanya kemaslahatan didalamnya dan kejahatan yang dilakukan adalah sejenis dengan kejahatan yang diancam dengan hukuman bunuh.
            Berdasarkan hal ini, kebanyakan ulama hanafiah menfatwakan untuk membunuh orang kafir dimmi yang gemar menghujat Nabi saw meskipun setelah tertangkap, ia masuk islam.
Mereka juga mengatakan imam bisa mengambil kebijakan dengan menjatuhkan hukuman bunuh terhadap seorang pencuri yang berulangkali melakukan kejahatan pencurian dan orang yang berulangkali melakukan kejahatan pencekikan, karena ia berarti orang yang berbuat kerusakan dimuka bumi. Begitujuga halnya dengan setiap orang yang ancaman kejahatan dan kejelekanya tidak bisa dicegah kecuali dengan dubunuh, maka  ia boleh dihukum bunuh sebagai suatu kebijakan.
4.      Hukuman ta’zir dengan (pengambilan dan penyitaan) harta
Berdasarkan pendapat yang rajah menurut para imam tidak boleh menghukum ta’zir dalam bentuk pengambilan (penyitaan, perampasan harta). Karena hal itu, memberikan peluang pada orang-orang dzalim untuk mengambil dan merampas harta orang-orang lalu menggunakannya untuk kepentingan dirinya sendiri.
Ibnu taymiyyah dan murid-muridnya, ibnul qoyyim menetapkan bahwa hukuman ta’zir dalam bentuk sanksi materil hanya diberlakukan dalam beberapa kasus tertentu saja. Dalam madzab imam malik berdasarkan pendapat yang mashur darinya, madzab imam ahmad dan salah satu dari dua qaul imam syafi’I, sebagaimana yang ditunjukkan oleh sunnah rasul saw. Seperti perintah beliau untuk melipat gandakan atas pencurian buah yang masih tergantung di pohonnya dan pencurian Al-Katsar yang tidak sampai diancam dengan hukuman potong tangan, mengambil separuh harta milik orang yang tidak mau membayar zakat.
5.      Syarat wajib hukuman ta’zir
            syarat supaya hukuman ta’zir  bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal saja yang melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman hukuman hadd. Adapun anak kecil yang sudah mumayis, maka ia dita’zir, namun bukan sebagai bentuk hukuman akantetapi sebagai mendidik dan memberi  pelajaran.
6.      Cara pelaksanaan ta’zir
            Ta’zir bisa dilaksanalan dengan ucapan, seperti peringatan, teguran, dan nasihat. Bisajuga dilakukan dengan tindakan sesuia keadaan seperti pukulan, kurungan penjara, diikat, pengasingan, pencopotan jabatan dan pemutusan hubungan kerja.
Ta,zir tidak boleh dalam bentuk mencukur jenggot, menghancurkan rumah, merusak kebun, tanaman, buah-buahan, dan pohon. Juga tidakboleh dengan memotong hidung atau telinga, merusak bibir atau jari, karena cara tersebut tidakpernah di ajarkan oleh seorang guru dari sahabat Nabi saw.
7.      Kadar ukuran hukuman ta’zir
            Hukuman ta’zir disesuaikan dengan ukuran kejahatan yang di lakukan dan kadar tingkatan pelakunya sesuai dengan hasil ijtihad hakim, adakalanya dalam bentuk teguran dan bentakan, dipenjara, ditampar, atau sampai dihukum bunuh seperti dalam kasus kejahatan sodomi menurut ulama’ malikiyah, atau dengan dicopot dan diberhentika dari jabatanya, menyuruhnya berdiri dan pergi dari majlis, mendiskreditkan dan menghinakanya seperti dengan ucapan, “Hai dzalim hai orang yang melampaui batas. “Tidak apa-apa menghukum ta’zir dengan mencoreng-coreng wajahnya, diarak ramai-ramai disertai dengan menyebut-nyebut  kesalahan dan kejahatanya serta memukulinya.
            Haram hukumnya menghukum ta’zir dengan mencukur jenggotnya, memotong anggota tubuhnya, melukai tubuhnya, dan merampas hartanya dan merusaknya menurut ulama’ hanabilah. Hukuman ta’zir dalam bentuk dera batas minimalnya adalah tiga kali cambukan, namun bisa saja lebih sedikit dari tiga sesuai dengan indifidu pelaku. Tidak ada batas tersendah untuk hukuman ta’zir.
Adapun tentang masalah batas maksimal hukuman ta’zir, para ulama berbeda pendapat: imam abu hanifah, ulama, safi’iyah, dan ulama hanabilah mengatakan, hukuman ta’zir tidak boleh sampai melebihi hukuman hadd terendah, akan tetapi paling tidak harus dikurangi satu dera. Sementara ulama malikiyah mengatakan, imam boleh menghukum ta’zir dengan jumlah deraan berapapun juga sesuai dengan kebijakan dan hasil ijtihadnya meskipun melebihi hukuman hadd tertinggi sekalipun.
8.      Sifat-sifat hukuman ta’zir
            Hukuman ta’zir memiliki sejumlah sifat. Diantaranya, hukuman ta’zir menurut ulama malikiayah dan ulama hanabilah adalah hak Allah swt yang wajib dipenuhi apabila imam melihat untuk menjatuhkanya. Oleh karenaitu, secara garis besar, hakim tidak boleh menggugurkan hukuman  ta’zir, karena itu adalah hukuman untuk member efek jera yang diberlakukan  untuk memenuhi hak Allah swt. Menurut ulama safi’iyah hukuman ta’zir sifatnya tidak wajib. Oleh karena itu, hakimbisa saja tidak melaksanakanya selama kasusnya tidak menyangkut hak adami. Hal ini berdasarkan hadits,



اقيلوا ذ وي الهيئا ت عثرا تهم إ لا الحد ود
“Maafkanlah kesilapan-kesilapan Orang-orang yang memiliki perilaku baik, kecuali kesalahan-kesalahan yang mengharuskan hukuman hadd. (HR Abu dawud, ahmad dan nasa’i)
Adapun ulama hanafiyah mengatakanbahwa hukiman ta’zir apabila kasusnya menyangkut hak adami, wajib dan harus dilaksanakan, tidak boleh ditinggalkan.karena hakim samasekali tidak memiliki kewenangan untuk menggugurkan hak adami. Adapun jika kasusnya menyangkut hak Allah swt, masalahnya dipasrahkan kepada kebijakan dan pandangan imam. Apabila imam melihat adanya kemaslahatan untuk menegakkan hukuman ta’zar terhadap pelaku, maka ia melaksanakanya. Apabila ia tidak melihat adanya kemaslahatan untuk menegakan hukuman ta’zir kepada pelaku atau ia mengetahui bahwa pelaku sudah jera dan kapok tanpa harus dihukum ta’zir, maka ia boleh tidak melaksanakanya.
Sifat hukuman ta’zir yang kedua adalah pukulan cambuk dalm hukuman ta’zir adalah yang paling keras, karena secara kuantitatif hukuman ta’zir memungkinkan untuk diperingan dengan dikurangi jumlah cambukanya, maka secara kualitatif tidakboleh diperingan sifat pukulanya, supaya maksud dan  tujuan dari hukuman yang di inginkan tetap bisa tercapai, yaitu memberi efek jera.
9.      Mekanisme penetapan dan pembuktian kasus kejahatan dengan ancaman hukuman ta’zir
            Menurut ulama hanafiah, Mekanisme penetapan dan pembuktian kasus kejahatan dengan ancaman hukuman ta’zir sama seperti mekanisme pembuktian dan penetapan hak-hak hamba lainya yaitu pengakuan, bayyinah (saksi), An-nukul (tidakmau bersumpah), dan berdasarkan sepengetahuan hakim akan kebenaran kasus yang terjadi.

10.  Hukuman ta’zir adalah kewnangan imam
Imam adalah pelaksana ta’zir karena imamlah yang memiliki wewnang penuh atas seluruh kaum muslim. As-sanani menyatakan dalam kitab subulussalam, “pelaksanaan ta’zir tidak boleh dilaksanakan oleh selain pemimpin (pemerintah), kecuali tiga pihak :
Pertama, Ayah. Seorang ayah berhak melakukan ta’dib terhadap anaknya yang masih kecil dan menghukum ta’zir sianak dalam rangka untuk mendidik, memperbaiki akhlaknya, juga ketika untuk memerintahkan shalat dengan memukul sianak supaya mau shalat jika memeng iti dibutuhkan. Dalam hal uini, setatus ibu sama seperti ayah selam masa-masa pengasuhan dan perawatan. Seorang ayah tidak boleh menghukum ta’zir anaknya yang sudah baligh, meskipun ia adalah orang yang safih (perilaku dan pikiranya kurang dewasa)
Kedua, pemilik budak. Seorang majikan pemilik budak boleh menghukum ta’zir budaknya, baik dalam kasus pelanggaran yang dilakukan sibudak terhadap hak simajikan sendiri atau terhadap Allah swt.
Ketiga, suami. Suami boleh menghukum ta’zir istrinya karena nusuz (pembangkangan) atau untuk memerintahkan seorang istri supaya menunaikan hak Allah swt. Ketika siistri tidak menunaikanya, seperti shalat, puasa ramadhan, dalam bentuk hikuman ta’zir yang menurut penilaian sisuamai sesuai untuk usaha memperbaiki perilaku siistri.
11.  Hak mendidik dan mendisiplinkan (ta’dib)
            Adpun apabila seorang ayah memukul anaknya atau suami memukul istrinya atau guru memukul muridnya dengan tujuan untuk mendidik dan memperbaiki akhlaknya lalu langkah ta’dib yang sah itu berakibat fatal, maka menurut Abu Hanifah dan imam Syafi’I pelaku pemukulan (selain ayah) harus tetap bertanggung jawab.
            Sementara Imam Malik dan Imam Ahmad mengatakan tidak ada pertanggung jawaban apapun atas pelaku pemukulan dalam kasus-kasus tersebut karena ta’dib adalah langkah yang legal dan sah dengan tujuan untuk membuat jera dan kapok.

PENUTUP
1.      Kesimpulan
Ta’zir secara bahasa, artinya adalah Al-man’u (mencegah, melarang, menghalangi). Diantara bentuk penggunaanya adalah ta’zir yang berarti An-nusrhrah (membantu, menolong), karena pihak yang menolong mencegah dan menghalani pihak musuh dari menyakiti orang yang ditolongnya. Kemudian kata ta’zir lebih populer digunakan untuk menunjukan arti memberi pelajaran dan sanksi selain hukuman hadd.
            Sedangkan kata ta’zir secara syara’, ta’zir adalah hukuman yang diberlakukan terhadap suatu bentuk kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman hadd dan tidak pula kafarat, baik itu kejahatan terhadap hak Allah swt.
syarat supaya hukuman ta’zir  bisa dijatuhkan adalah hanya syarat berakal saja yang melakukan suatu kejahatan yang tidak memiliki ancaman hukuman hadd. Adapun anak kecil yang sudah mumayis, maka ia dita’zir, namun bukan sebagai bentuk hukuman akantetapi sebagai mendidik dan memberi  pelajaran.
2.      Daftar pustaka

Ø  Az-zuhzili wahbah, Fiqih islam wa adillatuhu, darul fikri, Jakarta, 2011.
Ø  Muhammad Al-allamah, Fiqih empat mazhab, hasyimi, bandung, 2010.
Ø  Sabiq sayid, fiqih sunnah, Al-itishom, Jakarta,2010.



[1] Az-zuhzili wahbah, Fiqih islam wa adillatuhu, darul fikri, Jakarta, 2011, jilid 7, hal 523.
[2] Ulama hanabilah menyebutkan bahwa orang yang menenggak minuman keras pada siang hari bulan ramadhan, disamping dikenai hukuman had menenggak minuman keras, ia juga dikenai hukuman ta,zir berupa dicambuk sebanyak dua puluh kali.
[3] Sabiq sayid, fiqih sunnah, Al-itishom, Jakarta,2010, bab ta’zir, jlid 3, hal 88.
[4] Az-zuhzili wahbah, Fiqih islam wa adillatuhu, darul fikri, Jakarta, 2011, jilid 7, hal 525.
Share on Google Plus

About Rumadie El-Borneo

0 komentar:

Posting Komentar