Macam-macam Jinayat

A.    Pendahuluan
1.      Latar belakang
Penyusunan makalah yang mengambil tema jinayat, qishas, hudud, sesuai dengan muqariin empat madzab dan perbedaan antara hudud dan ta’zir. Jinyat sendiri terbagi menjadi tiga, yaitu ‘Amd Mahdh (disengaja betul-betul),Khatha’ Mahdh (tersalah semata-mata), ‘Amd Khatha’ (disengaja yang tersalah). Huddnya pun berbeda dalam pendapat ulama’-ulama’.
2.      Tujuan penulisan
Ø  Untuk memenuhi tugas mata kuliyah fiqih fuqqorin
Ø  Untuk mengetahui definisi, perbedaan-perbedaan pandapat ulama’
Ø  Untuk mengetahui hadd, qishas, dll.
3.      Permasalaha
Ø  Definisi
Ø  Hukum-hukumnya
Ø  Perbedaan dalah hadd

B.     Pembahasan
1.      Pengertian
            Jinayat berasal dari jamak jana, yakni, yang mempunyai arti mengambil. Kata jana bisa bermakna melakukan dosa. Dalam istilah syariat, jinayat bermakna setiap perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang dilarang adalah semua perbuatan yang dilarang oleh allah, karena membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.[1]
Macam-macam Jinayat
1.      ‘Amd Mahdh (disengaja betul-betul),
      Yaitu sengaja memukulnya dengan sesuatu benda yang biasa dipergunakan untuk membunuh, pembunuhan yang demikian wajib diqishas.
2.      Khatha’ Mahdh (tersalah semata-mata),
      Yaitu seseorang melontari sesuatu barang lalu mengenai seorang laki laki, kemudian ia terbunuh. Penjinayah ini tidak wajib dibunuh,  tetapi wajib membayar diyat ringan yang dibebankan atas keluarganya dengan diangsur selama tiga tahun.
3.      ‘Amd Khatha’ (disengaja yang tersalah)
      Yaitu jinayat yang dimaksudkan dengan sesuatu yang biasanya tidak menyebabkan mati, tetapi dia mati. Dengan demikian pembunuhnya tidak dibunuh, tetapi wajib membayar diyat yang berat yang dibebankan ke atas keluarga dengan
bertempo.[2]
Syarat- syarat wajib qishas ada 4 :
a.       Keadaan orang yang dibunuh sudah baligh,
b.      Keadaan orang yang membunuh adalah berakal,
c.       Yang membunuh bukan bapak dari yang dibunuh,
d.      Keadaan yang dibunuh tidak kurang derajatnya dari yang membunuh sebab kafir atau budak.[3]

2.      Qishas dan Hadd
                        Berkenaan dengan penghilangan jiwa atau anggota badan, dapat kami katakan bahwa hadd yang harus dikenakan terkadang berupa qishas (pembalasan yang sepadan dengan kadar kejahatan) dan ada kalanya berupa harta, yaitu yang disebut diyat (denda). Pembicaraan tentang qishas dibagi menjadi dua bagian : qishas pada jiwa dan qishas pada anggota badan. Pembicaraan tentang diyat juga dibagi menjadi dua bagian : diyat jiwa dan diyat memutuskan anggota badan dan pelukaaa. Jadi, secara garis besar kitab al-jinayat ini dibagi menjadi dua kitab yaitu kitab al-qishas dan al-diyat.
                        Perkara yang mengharuskan adanya qishas, pembicaraan tentang masalah ini berpangkal pada pembicaraan tentang sifat pembunuhan dan pembunuh yang karena berkumpulnya sifat-sifat tersebut bersama korban mengharuska adanya qishas. Tentang pelaksanaan qishas dan apa penggatinya jika qishas mempunyai ganti.
                  Syarat-syarat Pembunuh
            Fuqoha’ telah sepakat bahwa pembunuh yang dikenai hukuman qishas disyaratkan bahwa ia harus berakal sehat, dewasa, menghendaki kematian (korbannya) melangsungkan sendiri pembunuhanya tanpa ditemani orang lain. Kemudian fuqoha’ berselisih pendapat tentang orang yang dipaksa membunuh dan orang yang memaksanya.
                        Menurut Imam Malik, Syafi’i, At-Tsauri, Ahmad, Abu Tsaur dan fuqoha’ lainya berpendapat bahwa pembunuhan itu harus dikaitkan kepada pelaksananya, bukan kepada penyuruhnya. Tetapi si penyuruh ini harus dikenai hukuman. Segolongan fuqoha’ berpendat bahwa kedua orang itu (pelaksana dan penyuruh) sama-sama dihukum mati. Demikian itu apabila dalam pembunuhan tersebut tidak terdapat unsur disuruh. Jika penyuruh ini mempunyai kekuasaan atas orang yang disuruh,  yakni pelaksana pembunuhan, maka fuqoha’ berbeda-beda dalam tiga pendapat.
1.      Bahwa orang yang menyuruh dikenai hukuman mati, tetpai orang yang disuruh tidak, hanya dikenai hukuman saja. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud dan Abu Hanifah, dan juga merupakan salah satu pendapat Imam Syafi’i.
2.      Bahwa orang yang disuruh dikenai hukuman mati, bukan orang yang menyuruh. Ini juga merupakan pendaapt Imam Syafi’i.
3.      Bahwa kedua orang itu sama-sama dikenai hukuman mati. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik. Fuqoha’ Malikiyah dalam menetapkan hukuman mati atas orang yang disuruh membunuh dengan kesepakatan fuqoha’ telah menyadarkan pendapatnya kepada aturan, bahwa apabila orang tersebut telah hampir binasa sekalipun karena lapar namun demikian ia tetap tidak boleh membunuh orang lain untuk dimakannya.[4]

3.      Permasalahan
a.       Orang Merdeka Membunuh Hamba[5]
                        Ulama’ berbeda pendapat apabila orang merdeka membunuh hamba sahaya.
      Imam Malik, Syafi’i, Al-Laits, Ahmad dan Abu Tsaur berpendapat bahwa orang merdeka tidak dikenai hukuman mati karena membunuh hamba. Berpegangan pada dalil yag di ambil dari firman allah QS. Al-Baqarah 179 “… diwajibkan atas kamu qishas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba….”
      Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa orang merdeka dikenai hukuman mati karena membunuh hamba, kecuali hambanya sendiri. Sedangkan menurut An-Nakha’I bahwa orang merdeka dikenai hukuman mati karena membunuh hamba, baik hamba milik orang yang membunhnya maupun hamba milik orang lain. Mereka berpegangan denagn sabda Rasul saw “ Orang-orang islam itu sepadan jiwanya, dan orang yang lebih rendah dari mereka menanggung janji mereka. Dan mereka adalah satu tangan dalam memghadapi orang-orang selain mereka”. Dan yang diriwayatkan oleh Al-hasan dari Samurah bin Jundab “ barang siapa membunuh hambanya, maka kami kenakan hukuman mati atasnya karena dia”.
      Jadi, silang berpendapat dalam masalah ini berpangkal pada  adanya pertentangan antara keumuman  hadits dengan dalil dari al quran . Dan pendapat fuqoha yang mengungkapkan mengadakan pembeda-bedaan adalah lemah. Tidak diperselisihkan lagi dikalangan fuqaha, bahwa hamba itu dikenai hukuman mati karena membunuh orang merdeka. Begitu pula orang yang lebih rendah tingkatannya dikenai hukuman mati karena membunuh orang yang lebih tinggi tingkatanya.

b.      Orang Mukmin Membunuh Kafir Dzimmi
Ø  Bahwa orang mukmin tidak dikenai hukuman mati karena membunh orang kafir. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Syafii, Ahmad, Daud dan fuqaha lainnya, Berpegangan pada sabda Nabi saw dari ‘Amr bin Syuaib “orang mukmin itu tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir”
Ø   Bahwa orang mukmin dihukum mati karena membunuh orang kafir. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah bersama para pengikutnya dan Ibn Abi Laila. Berpegangan pada sabda Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ruba’iah bin Abu Abdu Rahman dari Abdu Rahman as-Salmani “Rasul saw menghukum mati seorang lelaki dari ahli kiblat (orang muslim) kerena membunuh seorang lelaki dari ahli dzimmah dan beliau bersabda, “ aku adalah orang yang paling berkewajiban memenuhi perjanjiannya”.
Ø  Bahwa orang mukmin tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir, kecuali jika ia membunuhnya secara khianat(ghilah). Pembunuhan secara khianat adalah apabila korban dibaringkan di atas rusuknya kemudian disembelih, terutama karena hartanya. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Malik dan Al-Laits.

c.        Pelaksanaan Qishash
         Tentang pelaksanaan qishash, fuqaha telah sepakat bahwa wali dari korban boleh mengambil salah satu dari dua hal: qishash atau memberikan ampunan bedasarkan diyat atau selain diyat.
         Kemudian mereka berselisih pendapat tentang, apakah perpindahan dari qishash kepada pemberian ampunan bedasarkan diyat merupakan suatu hak bagi wali korban tanpa ada pilihan dalam hal itu bagi orang yang dikenai qishash, ataukah diyat itu tidak bisa ditetapkan keuali bedasarkan kesepakatan kedua belah pihak berdua, yakni wali korban dan orang yang membunuh, juga tentang apabila orang yang dikenai qishash itu tidak mau membayar diyat, maka tidak lain bagi wali korban adalah qishash sama sekalli atau memberikan ampunan.
         Imam Malik berpendapat bahwa wali korban hanya di haruskan mengambil qishash atau memaafkan tanpa meminta diyat, kecuali orang yang membunuh itu memberikan diyat dengan suka rela.  Ini juga di kemukakan oleh Abu Hanifah, Ats- Tsauri, dan segolongan fuqoha.
         Imam Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, Daud dan kebanyakan fuqoha madinah serta fuqoha lainya berpendapat bahwa wali korban boleh memilih antara mengambil qishash atau mengambil diyat, sesukanya.  Baik  orang yang membunuh rela terhadap hal itu atau tidak.
         Pendapat seperti ini juga diriwayatkan oleh asyab imam malik.  Hanya saja, pendapat yang terkenal daripadanya (imam malik) adalah pendapat yang pertama tadi. Pada riwayatnya yang terkenal itu imam malik berpegangan pada hadist Anas bin Malik ra. Nabi saw.  Bersabda artinya: “ketentuan allah adalah qisshash.”
         Dengan menggunakan dalil kitab  dapat dipahami bahwa wali dengan menggunakan dalil kitab  dapat dipahami bahwa wali korban hanya mempunyai qishash. Allah swt berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh diri sendiri”. Qs.  An-Nisa: 29.  “Jika seseorang mempunyai kemampuan untuk menebus dirinya dengan harta, maka ia wajib menebusnya. Sebagai rujukan adalah, jika seseorang mendapatkan makanan dalam keadaan lapar dengan harga yang pantas, sedang ia mempunyai ssesuatu untuk membelinya, maka betapa pula dengan pembeli dirinya”.

d.      Ad-Diyat
         Diyat pembunuhan yang dikenai diyat, fuqoha telah sepakat bahwa diyat itu dikenakan terhadap pembunhan tersalah (tidak sengaja) dan pembunhan sengaja yang dilakukan oleh selain orang mukallaf, seperti orang gila dan anak-anak. Juga terhadap pembunhan sengaja yag dalam hal itu tingkatan orang yang dibunuh dibawah tingkatan orang yang membunuh, seperti orang merdeka dan hamba sahaya.
1.      Kadar dan Macam Diyat[6]
Dalam Madzab Maliki diyat dibagi menjadi tiga macam : diyat pembunhan tersalah, diyat pembunhan sengaja, apabila diterima, dan diyat mirip sengaja.
Sedangkan menurut Imam Syafi’i berpendapat bahwa diyat itu hanya dua macam, diyat ringan dan diyat berat. Diyat ringan adalah diyat pada pembunuhan tersalah, dan diyat berat adalah diyat pada pembunhan sengaja dan mirip sengaja.
Sementara menurut Imam Abu Hanifah diyat dibagi menjadi dua macam, diyat pembunhan tersalah dan diyat pembunuhan mirip sengaja. Bagi beliau diyat pembunuhan sengaja itu tidak ada, dan menurut beliau yang harus dibayar pada pembunuhan sengaja adalah apa yang dihasilkan oleh perundingan di antara kedua belah pihak.
1.      Diyat pembunuhan sengaja
Menurut Imam Malik, diyat pembunuhan sengaja itu dibagi menjadi empat macam, yaitu : 25 unta betina binti makhadh (unta betina memasuki tahun kedua), 25 unta betin binti labun(unta betina memasuki tahun ketiga), 25 unta hiqqah(unta betina memasuki tahun keempat), 25 unta jadza’ah(unta betina memasuki tahun kelima).
Imam Malik membagi diyat berat menjadi tiga bagian, yaitu: 30 unta hiqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 unta bunting.
Imam Syafi’i membagi diyat pembunuha mirip sengaja menjadi tiga bagian,
2.      Diyat pembunuhan tersalah
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa diyatnya dibagi menjadi lima bagian, yaitu : 20 unta binti makhad, 20 unta betina binti makhadh (unta betina memasuki tahun kedua), 20 unta betin binti labun(unta betina memasuki tahun ketiga), 20 unta hiqqah(unta betina memasuki tahun keempat), 20 unta jadza’ah(unta betina memasuki tahun kelima).
Al-Bukhari dan At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dari Nabi saw bersabda “ Pada diyat pembunuhan tersalah adalah 20 unta betina binti makhad, 20 unta jantan ibni makhad, 20 unta betina binti labun, 20 unta jadza’ah, 20 unta hiqqah”.

e.       Perbedaan antara Hududd dan Ta’zir
a.       Hudud
Hudud berasal dari kata jamak had, pengertian dasar had adalah pembatas antara dua perkara. Juga diartikan sebagai hal yang membedakan antara sesuatu dan lainnya. Al-hadd juga diartikan sebagai maksiat itu sendiri. Misalnya dalam fitman allah “Itulah kemaksiatan-kemaksiatan terhadap allah, maka janganlah kamu mendekatinya”. (Al-Baqarah 187)
         Menurut pengertian syariat, hudud adalah hukuman yang ditetapkan untuk menunujukkan hak allah. Dengan demikian hudud berbeda dengan ta’zir, karena tidar ada batas ukurannya, mengingat penetapan tak’zir diserahkan kepada pemerintah. Qishas juga tidak termasuk hudud, karena qishas dilakukan demi menegakkan hak manusia.[7]
b.      Ta’zir
Menurut bahasa, ta’zir berarti pengagungan dan pembelaan. Arti ini dapat disimak dari firman allah “Supaya kamu sekalian beriman kepada allah dan Rasul-Nya, dan membela (agama)Nya”. (Al-Fath 9)
Menurut pengertian syariat, takzir adalah hukuman yang dijatuhkan karena melakukan kejahatan yang yang tidak punya konsekuensi hudud ataupun kafarat. Dengan kata lain, ta’zir adalah sanksi yang ditetapkan pemerintah terhadap kejahatan atau maksiat yang hukumannya tidak ditentukan lagsuns oleh syariat, atau telah dijelaskan namun syarat-syarat pelaksanaannya tidak terpenuhi.[8]
      Hikmah persyariatan dan perbedaan antara ta’zir dan hudud
Ø  Semua manusia setara dalam masalah hudud, sedangakan ta’zir tidak. Jika pelaku pelanggaran orang yang dikenal baik, maka boleh dimaafkan. Atau, seandainya dihukumpun maka hukumannya mesti lebih ringan dari orang yang biasa yang melakukan pelanggaran yang sama.
Ø  Syafaat (permohonan keringanan dari pihak ketiga) tidak berlaku pada kasus hudud yang telah diserahkan kepada hakim. Tapi dalam setiap kasus ta’zir, syafaat berlaku.
Ø  Orang yang mati akibat menjalani hukuman ta’zir menerima diyat. Seperti Umar ra pernah menghukum seorang wanita yang sedang hamil. Karena ketakutan wanita tersebut melahirkan bayi premature yang kangsung mati, maka Umar menanggung diyat janin wanita tersebut. Tapi menurut hanifah dan Malik, tidak ada tanggungan dalam ta’zir karena dalam hal ini kedudukannya sama dengan hudud.[9]

C.    Kesimpulan
            Jinayat berasal dari jamak jana, yakni, yang mempunyai arti mengambil. Kata jana bisa bermakna melakukan dosa. Dalam istilah syariat, jinayat bermakna setiap perbuatan yang dilarang dan perbuatan yang dilarang adalah semua perbuatan yang dilarang oleh allah, karena membahayakan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta. Macam-macam Jinayat :‘Amd Mahdh (disengaja betul-betul), Khatha’ Mahdh (tersalah semata-mata),  ‘Amd Khatha’ (disengaja yang tersalah)

                  Daftar isi
o   Abdurrahman, Haris Abdullah, Terjemah Bidayatul-Mujtahid III, Semarang As-sifa, 1990
o   Abu Bakar taqiyyudin, Terjemah Kifayatul-Akhyar, Bina Iman Surabaya, 1994
o   Sayyid Sabiq, Terjemah Fiqh Sunnah jilid II dan III, Al-Iltisham,




[1] . terjemah kifayatul ahyar 319
[2] . terjemah kifayatul ahyar 319
[3] . terjemah kifayatul ahyar 329
[4] . ternemah bidayatul mujtahid 528-529
[5] . terjemah bidayatul mujtahid 534
[6] . terjemah bidayatul mujtahid 560
[7] . terjemah fiqh sunnah II 547
[8] . terjemah fiqh sunnah III 87
[9] . terjemah fiqh sunnah III 88-89
Share on Google Plus

About Rumadie El-Borneo

0 komentar:

Posting Komentar